Ciremai, Si Tinggi dari Jawa Barat
Menapaki tempat bertapa Sunan Gunung Djati memiliki rasa bangga tersendiri pada diri saya. Kenapa? Karena ini pendakian pertama saga. Rasanya menjadi perempuan hebat bisa menapaki gunung tertinggi di Jawa Barat. Aaaaaaaaaaaakh beruntung!
Awal cerita seorang teman mengajak ku mendaki gunung, tidal tanggung-tanggung, kita ke Ciremai. Tapi aku lupa hari dan tanggal saat itu.
Kita berangkat dari Cibiru sore hari menggunakan elf, mini bus yang merasa dirinya Mobil balap. Selanjutnya kita turun di Maja, itu nama tempatnya kata teman Ku. Disana kita dijemput oleh ayahnya. Tapi kata teman ku jika ingin langsung ke Apuy, visa menyewa kolbak disana.
Perjalanan menuju Gn. Ciremai dimulia keesokan harinya. Kami berangkat pukul 06.00 menuju Apuy dengan diantar ayahnya. Aku tidak bisa menceritakan dengan jelas bagaimana perjalanan kesana, aku buta jalan hehe
Sesampainya di Apuy kita masih teman yang Latin. Aku tidak mengenal mereka, tapi disana kita menjadi saudara.
Dari Apuy menuju Pos Berod kita menyewa kolbak, karena jalan yang jauh dan menghemat tenaga juga. Tapi jika ingin berjalan kaki, juga bisa. Menuju Berod kita melewati lahan perkebunan dan pertanian warga sekitar, jadi berjalan kaki lebih asik.
Sampai di Pos Berod, kita mendaftarkan diri. Biaya yang dikeluarkan sekitar 50k, itu sudah termasuk makan saat pulang (nasi, tahu, tempe, telur, dan air mineral) selain itu kita juga mendapatkan sertifikat.
Dari Berod, kita menuju Pos 1, namanya Saung Arban. Karena disana ada sebuah swung. Aku tidak banyak berfoto, karena begonya kamera yang ky bawa disimpan di dalam keril, aku malas ngubek tas.
Lanjut menuju pos 2, namanya Regal Padang, pos 3 Tegala Masawa, pos 4 Jamuju, Pos 5 Sanghyang Rangkah. Dan lagi, aku tidak bisa menjelaskan detail perjalanan ini, karena perjalanan sudah 2/3 tahun ke belakang. Hanya beberapa moment yang ku ingat.
Menuju Simpang Apuy- Paluntungan menjadi beban tersendiri untuk ku. Tertinggal di belakang dengan beberapa orang yang sama baru pertama kali mendaki. Kalo kata orang sunda mah ripuh. Aku ingat waktu itu hampir magrib, aku lihat jam. Perut keroncongan. Tas makanan sudah ada di atas, hanya ada mie instan. Dan kalian yang sering mendaki pasti tau bagaimana cara ku memakan mie tersebut.
Akhirnya beberapa teman yang sudah di at as kembali Turin menjemput satub persatu dari kaki dan men-drop kami di Simpang. Ada kami bertiga, si Awam. Gio, Hani, dan Wahyu. Tanpa tends, dan makanan. Yang kami lakukan? Menyanyi meredam takut ditemani rintik hujan saat itu.
Sebagian lainya sudah mendirikan tenda di Pos 6, di Goa Walet. Aku dan geng Awam mendirikan tenda di Simpang Apuy-Paluntungan karena ada sedikit insiden. And finally I am sleep~~~
Saat pagi menyapa, aku sudah bersiap untuk summit tapi gagal. Ketiga perempuan rapuh ini ditinggal di tenda. Jadi, perjalanan ku hanya sampai Simpang Apuy-Paluntungan. Sekian.
Tapi teman ku kembali mendaki Gn. Ciremai setelah kegagalan tersebut. Dan akhirnya is menginjakan kaki di puncak tertinggi di Jawa Barat. Semoga ada kesempatan untuk ku kembali kesana.
Aku tidak bisa menceritakan disana secara detail, karena saat itu perasaan ku campur aduk. Kesal, marah, takut, ingin nangis, tapi seneng. Hanya itu yang bisa ku cerita kan.
19 September 2017 tepat ku menulis ini di kamar berukuran 4x5 meter. Mungkin suatu hari nanti aku ada di Colmar, Prancis. Kota kecil nan indah. Semoga.
Awal cerita seorang teman mengajak ku mendaki gunung, tidal tanggung-tanggung, kita ke Ciremai. Tapi aku lupa hari dan tanggal saat itu.
Kita berangkat dari Cibiru sore hari menggunakan elf, mini bus yang merasa dirinya Mobil balap. Selanjutnya kita turun di Maja, itu nama tempatnya kata teman Ku. Disana kita dijemput oleh ayahnya. Tapi kata teman ku jika ingin langsung ke Apuy, visa menyewa kolbak disana.
Perjalanan menuju Gn. Ciremai dimulia keesokan harinya. Kami berangkat pukul 06.00 menuju Apuy dengan diantar ayahnya. Aku tidak bisa menceritakan dengan jelas bagaimana perjalanan kesana, aku buta jalan hehe
Sesampainya di Apuy kita masih teman yang Latin. Aku tidak mengenal mereka, tapi disana kita menjadi saudara.
Dari Apuy menuju Pos Berod kita menyewa kolbak, karena jalan yang jauh dan menghemat tenaga juga. Tapi jika ingin berjalan kaki, juga bisa. Menuju Berod kita melewati lahan perkebunan dan pertanian warga sekitar, jadi berjalan kaki lebih asik.
Sampai di Pos Berod, kita mendaftarkan diri. Biaya yang dikeluarkan sekitar 50k, itu sudah termasuk makan saat pulang (nasi, tahu, tempe, telur, dan air mineral) selain itu kita juga mendapatkan sertifikat.
Dari Berod, kita menuju Pos 1, namanya Saung Arban. Karena disana ada sebuah swung. Aku tidak banyak berfoto, karena begonya kamera yang ky bawa disimpan di dalam keril, aku malas ngubek tas.
Lanjut menuju pos 2, namanya Regal Padang, pos 3 Tegala Masawa, pos 4 Jamuju, Pos 5 Sanghyang Rangkah. Dan lagi, aku tidak bisa menjelaskan detail perjalanan ini, karena perjalanan sudah 2/3 tahun ke belakang. Hanya beberapa moment yang ku ingat.
Menuju Simpang Apuy- Paluntungan menjadi beban tersendiri untuk ku. Tertinggal di belakang dengan beberapa orang yang sama baru pertama kali mendaki. Kalo kata orang sunda mah ripuh. Aku ingat waktu itu hampir magrib, aku lihat jam. Perut keroncongan. Tas makanan sudah ada di atas, hanya ada mie instan. Dan kalian yang sering mendaki pasti tau bagaimana cara ku memakan mie tersebut.
Akhirnya beberapa teman yang sudah di at as kembali Turin menjemput satub persatu dari kaki dan men-drop kami di Simpang. Ada kami bertiga, si Awam. Gio, Hani, dan Wahyu. Tanpa tends, dan makanan. Yang kami lakukan? Menyanyi meredam takut ditemani rintik hujan saat itu.
Sebagian lainya sudah mendirikan tenda di Pos 6, di Goa Walet. Aku dan geng Awam mendirikan tenda di Simpang Apuy-Paluntungan karena ada sedikit insiden. And finally I am sleep~~~
Saat pagi menyapa, aku sudah bersiap untuk summit tapi gagal. Ketiga perempuan rapuh ini ditinggal di tenda. Jadi, perjalanan ku hanya sampai Simpang Apuy-Paluntungan. Sekian.
Tapi teman ku kembali mendaki Gn. Ciremai setelah kegagalan tersebut. Dan akhirnya is menginjakan kaki di puncak tertinggi di Jawa Barat. Semoga ada kesempatan untuk ku kembali kesana.
Aku tidak bisa menceritakan disana secara detail, karena saat itu perasaan ku campur aduk. Kesal, marah, takut, ingin nangis, tapi seneng. Hanya itu yang bisa ku cerita kan.
19 September 2017 tepat ku menulis ini di kamar berukuran 4x5 meter. Mungkin suatu hari nanti aku ada di Colmar, Prancis. Kota kecil nan indah. Semoga.
0 comments